Beranda | Artikel
Apakah Pembagian Harta Waris Ayah Harus Menunggu Ibu Wafat?
Selasa, 12 April 2022

Apakah Pembagian Harta Waris Ayah Harus Menunggu Ibu Wafat?

Pertanyaan:

Yang banyak terjadi di masyarakat adalah ketika seorang ayah meninggal, harta warisannya tidak langsung dibagikan. Alasannya karena sang ibu atau istri dari ayah yang meninggal tadi masih hidup. Bolehkah menunda pembagian warisan ayah hingga ibu wafat?

Jawaban:

Bismillah, alhamdulillah, ash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Wajibnya Menggunakan Aturan Islam dalam Masalah Waris

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kami ingin mengajak para pembaca sekalian untuk kembali pada aturan agama dalam urusan warisan. Bukan aturan perasaan atau aturan budaya atau aturan-aturan lainnya. Karena di dalam Al Qur’an Al Karim, Allah ta’ala menyebutkan aturan waris secara panjang lebar dalam empat ayat di surat An Nisa ayat 11 sampai 13 dan ayat 176. Di antaranya, Allah ta’ala berfirman:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. An Nisa: 11).

Dan ayat-ayat lainnya. Maka apakah ayat-ayat mulia dari Allah ta’ala ini akan kita tinggalkan tanpa diindahkan sama sekali? Allahul musta’an, seorang mukmin tidak akan berlaku demikian.

Bahkan Allah mengancam dengan keras orang-orang yang melanggar aturan waris ini. Allah ta’ala berfirman setelah menjelaskan aturan-aturan waris:

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ

“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan” (QS. An Nisa: 13-14).

Istri Memiliki Jatah Waris Tersendiri

Kasus di atas, biasanya didasari atas anggapan bahwa harta peninggalan ayah seluruhnya adalah milik ibu. Sehingga agar dibagikan kepada para ahli waris, harus menunggu sampai ibu juga wafat. Ini anggapan yang keliru, karena istri dari mayit memiliki jatah waris tersendiri, ia tidak menguasai semua harta waris. Allah ta’ala berfirman:

وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ

“Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan” (QS. An Nisa: 12).

Dari ayat ini, jelas bahwa jatah warisan bagi istri adalah 1/4 atau 1/8. Ia tidak menguasai semua harta warisan.

Jangan Menunda Pembagian Warisan

Dalam hadits dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

أَلْحِقُوا الفَرائِضَ بأَهْلِها

“Bagikanlah harta waris kepada ahli waris yang berhak mendapatkannya” (HR. Bukhari no.6746, Muslim no.1615).

Dalam hadits ini Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan untuk membagikan harta waris kepada yang berhak menerimanya. Dan hukum asal perintah adalah bersegera untuk dilakukan, bukan ditunda. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam matan Al Ushul min Ilmil Ushul mengatakan:

صيغة الأمر عند الإطلاق تقتضي: وجوب المأمور به، والمبادرة بفعله فوراً

Kalimat perintah, jika disebutkan secara mutlak, maka menghasilkan hukum wajib dan mengharuskan bersegera melakukannya”.

Oleh karena itu hendaknya bersegera untuk membagikan warisan setelah mayit meninggalkan, dan tidak menunda-nundanya kecuali karena waktu jeda yang wajar menurut ‘urf. Dan juga tidak menundanya hingga sang istri dari mayit wafat.

Menunda pembagian warisan selain bertentangan dengan hadits Nabi di atas, juga merupakan bentuk kezaliman kepada ahli waris. Karena tertahannya harta yang sudah menjadi hak mereka untuk mendapatkannya. Para ulama dalam Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ menjelaskan:

لا ينبغي تأخير قسمة التركة؛ لما يترتب على ذلك من تأخير دفع الحقوق إلى أصحابها، وبالتالي تأخير دفع الزكاة؛ لأن كل وارث يحتج بأنه لا يعرف نصيبه، أو لم يستلمه

“Tidak semestinya menunda pembagian waris. Karena ini berarti akan menunda penunaian hak dari penerimanya. Demikian juga, akan mengakhirkan pembayaran zakat. Karena penerima waris akan membutuhkannya, sedangkan ia belum mengetahui berapa jatahnya dan belum menerimanya” (Fatawa Al Lajnah, 16/440- 441).

Lalu Bagaimana dengan Nafkah Istri?

Jika ada yang bertanya: “Istri dari mayit hanya mendapatkan 1/4 atau 1/8, lalu bagaimana dengan kehidupannya setelah suaminya meninggalkan sedangkan ia tidak mendapatkan banyak harta?”.

Alasan demikian tetap tidak membuat bolehnya memberikan seluruh harta suami yang meninggal kepada istrinya. Karena aturan dari Allah ta’ala, jatah waris istri adalah 1/4 atau 1/8. Adapun mengenai nafkah, maka Islam sudah mengaturnya dengan begitu sempurna. Allah ta’ala berfirman:

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ ۚ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan ahli waris pun berkewajiban demikian” (QS. Al Baqarah: 233).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan ayat “dan ahli waris pun berkewajiban demikian”, beliau berkata :

فدل على وجوب نفقة الأقارب المعسرين, على القريب الوارث الموسر

“Ayat ini menunjukkan kerabat yang berkemampuan WAJIB menafkahi kerabat yang kurang mampu” (Tafsir As Sa’di).

Ayat di atas menunjukkan adanya kewajiban nafkah atas para karib kerabat jika si istri yang ditinggal mati suami tadi miskin dan tidak bisa mencari penghidupan. Sehingga ringkasnya, nafkah sang istri tersebut ditanggung oleh kerabatnya yang mampu, semisal orang tuanya, anak-anaknya, pamannya, saudara laki-lakinya, dan lainnya.

Demikian, wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/38263-apakah-pembagian-harta-waris-ayah-harus-menunggu-ibu-wafat.html